HUTAN TANAMAN INDUSTI DALAM TATAGUNA
SUMBER DAYA LAHAN
LATAR BELAKANG
Menurut triharso(1986) pembangunaan hutan tanaman industri ( HTI )
direncanakan melalui percepatan 400, 000 ha-1. Atmawijaya (1986) meyebut angka
antara 230, 000 250,000 ha tahun -1 dan sasaran pencapaian luas sampai pelita VI
4,4 juta ha. Soedjarwo(1986), menteri kehutaan saat itu, mengatakan sasaran
luas sampai tahun 2000 ialah 6,6 juta ha.
Tidak ada keterangan berapa luas akhir yang hendak dicapai. Soedjarwo
(1986) hanya mengatakan bahwa HTI dikembangkan di lahan hutan alami yang kurang
produktif (hutan belukar, bekas penebangan hutan alami berproduksi rendah,
bekas peladangan berpindah-pindah, dan padang
ilalang ). Tidak ada angka pasti berapa luas keseluruhan lahan – lahan tersebut.
Juga tidak ada catatan apakah lahan-lahan itu akan digunakan seluruhnya
untuk HTI ataukah hanya sebagian. Duryat (1981) menyebut akngka 40 juta ha
jumlah luas lahan alang-alang, semak belukar dan hutan rusak. Mulyadi (1981)
mengajukan angka 13 juta ha lahan alang-alang, kosong gundul dan terlantar,
serta 4 juta ha lahan belukar, sehingga jumlahnya 17 juta ha. Tidak diketahui
apakah dalam istilah Duryat hutan rusak termasuk bekas penebangan hutan alami
berproduktivitas rendah.
Kebijakan pembangunan kehutanan menyebutkan hutan produksi tetap yang
dikukuhkan seluas 33,9 juta ha. Kalau asas pelestarian (preservation) plasma
nutfah akan diterapkan secara panggah
(consequent), semua hasil hutan harus berasal dari hutan tanaman, sebagimana
halnya dengan pertanian yang semua hasil berasal dari tanaman. Dengan demikian
HTI akan mencapai luas 33, 9 juta ha. Mungkin untuk sementara waktu sebagian
hutan produksi tetap yang dikelola secara HPH masih perlu dipertahankan untuk
memperoleh hasil kayu yang berdaur panjang (di atas 30 tahun) seblum ada HTI
yang cukup umur untuk menggantikannya. Dapat pula hutan alam seluas tertentu
tetap diusahakan sebgai hutan produksi tetap untuk menghasilkan kayu berdaur
panjang, sedangkan HTI dikhususkan untuk menghasilkan berdaur pendek (sekitar
10 tahun) dan yang berdaur menengah (sekitar 25 tahun).
HTI dikelola dengan silvikultur
intensif, ditanam secara monokultur, dan dipanen secara tebang habis. Menurut
Atmawijaya (1986), tingkat intensifikasi diukur menurut jumlah kegiatan dan
uang yang ditanam tiap satuan luas atau dalam tiap satuan hasil. Kegiatan
mencakup pemeliharan jenis (pengadaan sumber benih), pemuliaan pohon (tree improvement) , dan pengaturan jarak
tanam, pemangkasan, dan lama rotasi. Pengelolaan tanah dan perlindungan tidak
tersebut sebagai bagian hakiki silvikultur intensif. Dengan ciri-cirinya itu
boleh disebut kebun kayu (timber estate)
(Anonim,-).
Menurut penggunaannya hasilnya, HTI
terpilahkan menjadi tiga kelompok, yaitu penghasil kayu energi dengan daur 5
s/d 8 tahun, penghasil kayu bubur (Pulp)
dengan daur 10 – 15 tahun, dan penghasil kayu pertukangan dengan daur 20 – 30
tahun. Berdasarkan analisis ekonomi, luas optimum dan minimum rata-rata satu
satuan kebun kayu menurut jenis hasilnya ialah kebun kayu energi optimum 48.000
ha dan minimum 15.500 ha, kebun kayu bubur 42.500 ha dan 23.000 ha, dan kebun
kayu pertukangan 65.000 ha dan 14.000 ha (Anonim,-).
PERSOALAN
Fakta
yang perlu dicermati berkenaan dengan pembangunan HTI adalah :
- Lahan yang terlibat sangat luas dan bagian terbesar akan berada di Sumatera dan Kalimantan.
- Monokultur.
- Pemungutan hasil dengan tebang habis yang setiap tahunnya meliputi lahan luas.
- Pengelolaan tanah tidak dijadikan bagian hakiki silvikutur yang diterapkan meskipun sudah disebut intensif.
Fakta-fakta tersebut apabila ditangani secara benar akan berdampak buruk
atas sumber daya tanah dan membahayakan kemaujudan (existence) dan keterlanjutan keterlanjutan (sustainability) HTI sendiri.
Pelibatan lahan sangat luas di Sumatera dan Kalimantan
akan segera terbentur pada tanah-tanah piasan (marginal). Dalam menghadapi tanah semacam ini HTI tidak lagi
memiliki daya adaptasi kuat seperti hutan alam. Mekanisme adaptasi dalam hutan
alam yang berkembang lewat suksesi vegetasi, keseimbangan tahana lunak (steady state equilibrium) antara
vegetasi sebagai biom dan tanah sebagai habitat, dan keanekaan jenis serta umur
(tingkat perkembangan dalam kumpulan asosiatif, tiada dalam HTI. Maka
keterlanjutan alami HTI lemah. Silvikultur intensif yang dirancang untuk HTI
tidak mempunyai komponen teknologi yang sanggup menyulih kelemahan adaptasi
alami yang ada dalam sistem HTI dengan kekuatan buatan.
Kendala tanah yang dihadapi bersifat majemuk yang untuk
penanggulanagannya memerlukan teknologi sepadan yang dirancang secara cermat
agar tidak mengusik sumber daya tanah dan lingkungan adalah:
- pH rendah yang berkaitan dengan kejenuhan basa rendah (kekurangan hara rendah)
- kejenuhan Al tinggi dan Fe dan Mn aktif tinggi yang menimbulkan keracunan pada tanaman, gangguan penyerapan unsur hara dan daya semat kuat atas fosfat.
- lempung beraktivitas rendah (low activity clay, LAC) yang menyebabkan daya simpan air dan hara rendah serta efisiensi serapan hara rendah, dan bermuatan terubahkan (variable charge clay VCC) yang bergantung pada pH muatannya makin kecil sehingga aktivitas lempung makin rendah.
- kandungan unsur hara mikro Cu yang berkaitan dengan macam bahan induk (kadar SiO2 tinggi atau batuan pasir ) dan kandungan unsure hara mikro Zn di lapisan tanah atas yang berkaitan dengan alih tempat ke lapisan tanah bawahan (Aubert dan Pinta, 1977); Krauskopf, 1979).
- Kadar bahan organic rendah sekali dan itu pun terlongkok dalam lapisan tanah permukaan tipis dan dengan sendirinya kadarnya N rendah sekali dan kadar S dan P rendah dan terbatas dalam lapisan permukaan tipis tersebut. Dengan demikian bekalan bahan organic, N, S, dan P yang sudah rendah itu berada pada kedudukan yang rentan sekali terhadap erosi.
- Sering jeluk (depth) efektif tanah terbatas karena perkembangan horizon argilik yang tegas dan dangkal yang menyebabkan volum tanah yang terangkum perakaran tanaman terbatas dan akar dipaksa tumbuh menyamping di lapisan tanah atasan sehingga lebih rentan kekeringan.
- Derajat agregasi rendaha dan kemantapan agregat lemah (Notohadiprawiro, 1973) yang menyebabkan tanah rentan erosi dan pemampatan.
Karena secara berkala ditebang habis pada bentangan lahan yang luas,
terdiri atas satu jenis dan umur, dan dikelola dengan silvikultur yang tidak
memadai, HTI bukan eksponen lingkungan. HTI tidak berdaya pengaruh atas iklim
meso dan mikro, dan tidak berfungsi hidro-erologi. Jutaan hektar lingkungan dan
lahan menjadi berada dalam keadaan tanpa perlindungan yang memadai.
Dengan memperhatikan luas ekonomi suatu satuan HTI dan daur rotasi
penebangan habis suatu jenis HTI, dapatlah dihitung luas lahan yang setiap
tahun terbuka tanpa perlingdungan. Perhitungan menggunakan luas tengah antara
luas optimum dan minimum satuan HTI dan daur rotasi tengah suatu jenis HTI.
I kayu
energi :
Luas
satuan 30.000 ha dan daur rotasi penebangan 6 tahunan. Luas tebangan habis tiap
tahun 5.000 ha.
II kayu bubur :
Luas satuan 30.000 ha dan daur rotasi penebangan 12 tahunan. Luas
tebangan habis tiap tahun 2.500 ha.
III kayu pertukangan :
Luas satuan 40.000 ha dan daur rotasi penebangan 12
tahunan. Luas tebangan habis tiap tahun 1.600 ha.
Dalam setiap kawasan HTI seluas
100.000 ha yang terdiri atas HTI kayu energi, kayu bubur dan pertukangan,
tebang habis tahunan akan meliputi lahan seluas 100 ha atau 9,1 %. Pada akhir
pelita VI luas HTI diharapkan mencapai 4,4 juta ha. Dengan asumsi bahwa lahan
seluas itu diperuntukkan merata bagi ketiga jenis HTI (perbandingan jumlah
satuan antar jenis 1:1:1), berarti pada waktu itu lahan HTI yang terbuka setiap
tahun seluas 400.400 ha. Makin banyak HTI kayu pertukangan lahan yang terbuka
setiap tahun makin sempit. Makin banyak HTI kayu energi lahan yang terbuka
setiap tahun makin lebar. Maka kisaran luas lahan terbuka setiap tahun ialah
antara 176.000 ha (semua HTI pertukangan) dan 3.333 ha ( semua HTI kayu
energi). Dalam HTI kayu energi lahan yang terbuka setiap tahun 16,7%, dalam HTI
kayu bubur 8,3 % dan dalam HTI kayu pertukangan 4%.
Persoalan lain yang perlu
dicermati berkenaan dengan pembibitan. Kasus Kalimantan Selatan dapat diajukan
sebagai contoh. Medium bibit dari campuran gambut kering dengan sekam padi
dengan perbangingan berat 7 : 3. sebagian gambut dapat diganti dengan kotoran
ayam dengan perbandingan gambut : kotoran ayam : sekam padi sama dengan 6 : 1 :
3. Untuk mengisi talam pot (pot – tray)
dengan lekuk bibit 45 buah diperlukan bahan campuran seberat 3 Kg kering,
berarti 2,1 Kg gambut kering tanpa kotoran ayam, atau 1,8 Kg gambut kering
kalau dengan kotoran ayam.
Ambilah jarak tanam rata-rata 3 x
2 m. tiap ha membutuhkan sekitar 1750 bibit yang memerlukan gambut 1750/ 45 x
2,1 Kg = 81,7 Kg (tanpa kotoran ayam) atau 70 Kg (dengan kotoran ayam). Dengan
dasar luas HTI pada akhir pelita VI gambut yang harus ditambah setiap tahun
adalah 400.400 x 81,7 Kg = 32.712.680 Kg atau bulatkan 33.000 ton kering (tanpa
kotoran ayam) atau 28.000 ton kering dengan kotoran ayam). Secara merata gambut
dapat menyerap air sampai 3 x beratnya sendiri. Maka gambut kering tadi diambil
dari lapangan berupa gambut jenuh air sebanyak 132.000 ton atau 112.000 ton
(tanpa atau dengan campuran kotoran ayam). Gambut jenuh air mempunyai b. v.
sekitar 1,1 (b.v. gambut kering sekitar 0,25) sehingga gambut yang ditambang
setiap tahun 120.000 m3 (atau 102.000 m3 dengan campuran
kotoran ayam). Kalau penambangan dibatasi sampai jarak 1 m, luas lahan gambut
yang ditambang setiap tahun ialah 12 ha (atau 10 ha).
Barangkali dilihat dari segi luas
lahan gambut yang terkena tidak menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Akan
tetapi dilihat dari segi akibat didrologinya, barangkali sikap kita menjadi
lain. Penambangan gambut merusak bentuk muka lahan dengan menciptakan
cekungan-cekungan yang menghambat pengatusan (drainage), dan menurunkan kapasitas menambat (retain) air yang meningkatkan ketidak-terkendalian air. Gambut 12
ha setebal 1 m mampu memegang air sebanyak 99.000 ton atau 99.000 m3.
Jumlah ini setara dengan curah hujan 82,5 mm yang jatuh langsung di lahan
gambut 12 ha. Dalam hal penambangan gambut 10 ha setebal 1 m, jumlah air yang
meliar sebanyak 84.000 ton atau 84.000 m3. Jumlah ini setara dengan
curah hujan 84 mm yang jatuh langsung di atas lahan gambut 10 ha. Dengan
perluasan HTI gambut yang harus ditambang setiap tahun bertambah luas. Pada
tahun 2000 yang kawasan HTI akan mencapai luas 6,2 juta ha, luas lahan gambut
yang harus ditambang setiap tahun 14 ha (dengan menggunakan kotoran ayam) atau
17 ha ( tanpa kotoran ayam).
Persoalan HTI ternyata bermuka
ganda yang saling berkaitan. Ada
persoalan konservasi sumber daya tanah air, perlindngan lingkungan, dan
keterlanjutan HTI sendiri.
PENANGANAN HTI
Persoalan
yang bermuka ganda hanya dapat ditangani dengan rancangan yang holistic,
terpadu dan serbacakup (comprehensive).
Holistik berartik HTI dipandang sebagai suatu sistem, bukan sekedar sebagai
suatu perusahaan atau kegiatan ad. hoc. Sebagai
suatu sistem, HTI berinteraksi dengan lingkungan yang ditempatinya. Maka
kebutuhan akan pandangan terpadu. Pembenahan sistem tidak berarti banyak kalau
pembenahan itu tidak sekaligus juga dapat membenahi nasabah sistem dengan
lingkungannya. Interaksi HTI dengan lingkungannya berlangsung dalam berbagai
jalur. Juga komponen lingkungan sehubungan dengan kinerja (performance) HTI berkendala ganda. Maka untuk penanganannya perlu
rancangan serba cakup. Misal, untuk menyelesaikan faktor tanah paisan yang
berkendala ganda diperlukan rancangan yang berkemampuan ganda pula.
Penyelesaian penggunaan lahan
seperti HTI, memerlukan hampiran prakarsa (initiative
approach) berdasarkan pandangan antisipatif. Dengan hampiran ini suatu
persoalan dipandang sebagai suatu kendala yang melekat pada sistem.
Menyelesaikan persoalan berarti menyingkirkan kendala, dan menyingkirkan
kendala berarti membenahi atau mengubah sistem. Tujuannya ialah membangun sistem
yang dicita citakan. Hampiran prakarsa jangkauan jauh ke masa depan.
Kendala utama yang melekat pada
HTI sebagai sistem ialah kelemahan silvikultur. HTI adalah perkebunan kayu
sehingga dapat disejajarkan dengan perkebunan-perkebunan lain, seperti karet,
the, kopi, kelapa sawit, dsb. Maka pengelolaannya perlu secara seas as dengan
pengelolaan yang diterarpkan pada perkebunan lain, yaitu mempunyai komponen
pengelolaan tanah yang kuat. Bahkan komponen pengelolaan tanah dalam HTI harus
lebih kuat karena pemungutan hasil akan melibatkan penggundulan lahan berjumlah
ribuan hektar setahun, yang tidak terjadi pada perkebunan lain.
Silvikultur perlu dilengkapi
dengan komponen – komponen :
1.
Konservasi tanah dan air dengan teknik :
Menanam berbanjar kontur dan dilengkapi dengan jalur pagar hidup (hedgerow) searah baris pohon berselang
beberapa baris pohon. Makin besar lereng, jarak antar pagar hidup dibuat
semakin pendek. Pagar hidup dapat dibuat secara ditanam atau dibuat dari
tumbuhan bawah alami yang sengaja disisakan.
2.
Perlindungan permukaan tanah setelah tebang habis
dengan teknik.
Menanam tanaman penutup tanah sebelum atau bersamaan dengan penanaman
bibit. Kalau digunakan tanaman legume
maka dapat dimanfaatkan sekaligus untuk pupuk hijau. Penutupan dapat dibuat
tatap dengan memilih tanaman yang tanah naungan sehingga tetap hidup setelah
tajuk pohon merapat. Boleh juga dibuat tidak tetap, hanya selama tajuk pohon
merapat. Setelah tanaman mati karena naungan tajuk, sisa tanaman tetap berguna
sebagai mulsa.
3.
Ameliorasi tanah dengan teknik
Memupuk dengan pupuk hijau. Upaya ini dapat dikerjakan sekaligus dengan
upaya penutupan tanah. Untuk menjamin keberhasilan penanaman tanaman pupuk
hijau diadakan pemupukan fosfat, cukup dengan takaran rendah. Pupuk hijau
berfungsi ganda dalam tanah piasan tersebut terdahulu : menambah hara N dan
bahan organic, memperbaiki pH, menurunkan kejenuhan Al serta aktifitas Fe dan
Mn, meningkatkan derajat agregasi dan kemantapan agregat, meningkatkan
kapasitas simpan air, dan menyehatkan kehidupan flora dan fauna (edafon) tanah.
Untuk pengembangan silvikultur
HTI lebih lanjut perlu dipertimbangkan dan dikaji :
- Inokulasi mikoriza untuk memperbaiki efisiensi penggunaan air dan unsur hara tanah, khususnya P.Cu, dan Zn, serta penjagaan terhadap peracunan Al dan Mn. Mikoriza dapat pula berguna meningkatkan daya tanah-tanah melawan erosi.
- Pemupukan dengan bahan fosfat alam (rock phosphate) untuk melengkapi penggunaan pupuk hijau.
- Kemungkinan penanaman pohon berdaur rotasi penebangan berbeda secara berseling baris. Dengan demikian setelah penebangan habis pohon berdaur tebang tertentu, permukaan tanah tidak telanjang menyeluruh karena masih ada baris-baris pohon yang belum waktunya ditebang.
Dalam hal pembibitan perlu
dipertimbangkan pembatasan penggunaan gambut dan atau mengatur penambangan
gambut yang tidak mengusik banyak fungsi hamparan gambut sebagai pengendali
hidrologi wilayah. Teknik-teknik yang dapat diterapkan antara lain :
1.
Mengurangi jatah gambut dengan menggantikannya dengan
kotoran ayam (atau kotoran ternak lain, atau vermicompost) dalam campuran medium pesemaian.
2.
Menggunakan gambut lahan tinggi (high land) yang peranannya dalam hidrologi wilayah tidak sepening
gambut lahan rendah, khususnya gambut pantai. Contoh gambut lahan tinggi di Indonesia
adalah gambut Plato Dieng.
3.
Menggunakan gambut “hidup”, artinya gambut yang masih
bertumbuh seperti misalnya gambut Rawa Pening.
4.
Penambangan dibatasi pada gambut ombrogen yang
depositnya berbentuk kubah. Penambangan hanya dikerjakan pada bagian kubah yang
fungsi hidrologinya paling kecil dibandingkan dengan bagian di bawahnya.
5.
Kalau terpaksa menambang gambut topogen di lahan
rendah, jarak penambangan dibatasi, misalnya tidak lebih daripada 0,5 m, agar
akibatnya atas hidrologi teratakan dalam wilayah yang lebih luas dengan maksud
menurunkan intensitas usikan atas tiap satuan luas wilayah.
6.
Betapapun baik pengaturannya, penambangan gambut tentu
akan mempengaruhi daur hidrologi di suatu wilayah karena mengurangi daya
wilayah menambat air. Bagian daya tambat alami yang hilang hendaknya disulih
dengan daya tambat rekayasa, misalnya dengan membuat cekungan penambat (retention basin) di wilayah hilir, atau
mengendalikan aliran darat (over land
flow) atau aliran limpas (run off)
di wilayah hulu dan tengah.
KOMENTAR
Pembangunan
HTI berdampak luas atas lingkungan. Maka pengelolaannya harus dipadukan dalam
pengelolaan lingkungan. HTI tidak dapat dipandang semata-mata sebagai kegiatan
bisnis. Pandangan demikian akan merusak tatanan penggunaan sumberdaya lahan
yang berkelanjutan.
Meskipun menggunakan sebutan
“hutan”, namun HTI secara hakiki bukan lagi hutan. HTI telah kehilangan
ciri-ciri pokok hutan, seperti tajuk bertingkat (multistory canopy),
keanekaan spesies, kemalaran ujud (continuous
existence) dan ekosistem khas. HTI adalah masyarakat budidaya berupa
perkebunan kayu. Maka perlakuan atas HTI pun perlu diselaraskan dengan fakta
ini. Silvikultur yang biasa dikenal masyarakat kehutanan, yang barangkali
dianggap berhasil diterapkan dalam mengelola hutan alam (HPH) atau pun hutan
tanaman berdaur sangat panjang (jati) dan hutan tanaman berdaur lebih pendek di
tanah subur (Pinus, Agathis, Mahoni), perlu ditinjau kembali sebelum dapat
diterapkan secara berhasil pada HTI di tanah piasan. Bahkan silvikultur jati
yang sudah dianggap mapan ternyata tidak berdaya melawan kemunduran
produktivitas hutan jati yang akhir-akhir ini mulai dikeluhkan para rimbawan.
Kenyataan ini sebetulnya bukan hal yang mengherankan apalagi diingat bahwa
lahan jati yang telah berumur ratusan tahun belum pernah dikelola sebagaimana
mestinya.
Masih banyak lagi pekerjaan rumah
yang menantikan para rimbawan sebelum HTI benar-benar merupakan suatu sistem
penggunaan lahan yang terpercaya, tidak hanya menurut ukuran ekonomi dan
bisnis, akan terlebih lagi menurut ukuran keterlanjutan manfaat sumber daya
lahan dan keselamatan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anon, Rencana Umum Pembangunan Timber Estate dalam Rangka Pembangunan Hutan
Tanaman Industri. Panitia Lokakarya Pembangunan Timber Estate. Fakultas
Kehutanan IPB. 12 h + 2 Lampiran.
Atmawidjaja, Rubini. 1986. Pelestarian Pemanfaatan Hutan Tanaman
Industri. Pros. Sem. Nas. Ancaman Terhadap Hutan Tanaman Industri. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI & Departemen Kehutanan. h 53-68.
Aubert, H., & M. Pinta. 1977. Trace Element in Soils. Dev. Soil Sci. 7. Elseevier Scientific Publ.
Co. Amsterdam.
ix + 395 h.
Duryat, Pw., H. Moch. 1981. Aspek Penyuluhan Kehutanan dalam
Pengendalian Perladangan Berpindah-pindah. Proc. Sem. Agroforestry dan
Pengendalian Perladangan. h 411-428.
Krauskopf, K.B. 1979. Introduction to Geochemistry. Second Ed.
McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo.
xiii + 617 h.
Mulyadi, D. 1981. Landasan Pendayagunaan Sumberdaya Tanah
Untuk Pembangunan Pertanian. Proc. Sem. Agroforestry dan Pengendalian
Perladangan. h 291-305.
Notohadiprawiro, T. 1973. The Relationship of Consistency Indices to
some Other Properties of Red-Yellow Podzolic Soils of Indonesia. Proc. Second Asean
Soil Conf. II: 1-17.
Soedjarwo, 1986. Pidato Menteri Kehutanan. Pros. Sem.
Nas. Ancaman Terhadap Hutan Tanaman Industri. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam UI dan Departemen Kehutanan. h 7-10.
Sriharso. 1986. Identifikasi Ancaman atau Gangguan Hutan Tanaman Industri, baik Biologi
maupun Non Biologi. Pros. Sem. Nas. Ancaman Terhadap Hutan Tanaman
Industri. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI dan Departemen
Kehutanan. h 13-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar